Oleh: Ary Fahd – Pegiat Media Sosial
Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan salah seorang kawan tentang Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Banyak hal yang kami bahas, salah satu poin penting dari pembahasan itu ialah permasalahan anggaran.
Dari obrolan itu, muncul sebuah fakta yang sudah lama dirasakan pelaku olahraga di daerah, tapi jarang dibicarakan secara terbuka. Ketimpangan anggaran antara provinsi dan kabupaten/kota.
Di atas kertas, provinsi memegang pundi-pundi besar, anggarannya bisa mencapai puluhan miliar setiap tahun. Namun di lapangan, prestasi olahraga justru banyak lahir dari kerja keras di kabupaten/kota, yang ironisnya hanya mendapat jatah anggaran pembinaan beberapa miliar saja, bahkan sering kali kurang dari itu.
Coba kita tengok realitasnya. Kabupaten dan kota adalah ujung tombak pembinaan cabang olahraga (cabor). Di sinilah para atlet muda dibina sejak usia dini, di sini pula pelatih bekerja siang malam, fasilitas seadanya, kadang harus merogoh kantong sendiri untuk kebutuhan peralatan atau transportasi atlet.
Saat gelaran besar seperti PON tiba, para atlet ini yang menjadi tulang punggung kontingen provinsi. Mereka bertanding, berjuang, dan pulang membawa medali emas. Namun begitu podium selesai dan bendera provinsi berkibar, seakan-akan semua itu adalah buah kerja provinsi semata. Kabupaten dan kota hanya kebagian ucapan terima kasih, kadang bahkan itu pun tidak.
Yang lebih menyedihkan, dana besar di tingkat provinsi kerap habis untuk kegiatan seremonial, rapat, perjalanan dinas, acara-acara serba formal yang memang penting di atas kertas, tapi nyaris tak berdampak langsung pada kualitas latihan atlet di daerah. Sementara itu, cabor di kabupaten/kota harus memutar otak mencari sponsor, melakukan penggalangan dana, bahkan menanggung biaya latihan dari kantong pribadi. Bonus untuk atlet pun kadang tersendat, tidak sebanding dengan keringat yang mereka peras di arena.
Masalah ini bukan sekadar soal uang, tetapi soal visi. Kalau provinsi ingin nama Kalimantan Utara berkibar lebih tinggi di arena nasional bahkan internasional, maka perhatian harus difokuskan pada pembinaan di akar rumput. Artinya, anggaran besar harus mengalir ke kabupaten/kota yang memang menjadi mesin penghasil atlet berprestasi. Jangan biarkan kabupaten/kota berjuang sendirian di medan latihan, sementara provinsi sibuk berfoto di podium.
Tidak ada salahnya provinsi menggelar rapat atau acara seremonial, tetapi porsi anggaran harus adil. Minimal 60–70 persen dari total anggaran pembinaan olahraga provinsi seharusnya langsung menyentuh cabor di kabupaten/kota, baik berupa bantuan peralatan, dana pelatihan, tunjangan pelatih, maupun bonus atlet. Karena tanpa mereka, KONI provinsi hanyalah nama kosong tanpa prestasi nyata.
Kita harus berani mengubah paradigma. Prestasi provinsi adalah prestasi kabupaten/kota. Medali emas yang dibawa pulang dari PON atau kejuaraan nasional bukan datang begitu saja dari kantor KONI provinsi, melainkan dari keringat atlet yang berlatih di lapangan tanah, dari pelatih yang rela menunda gajinya demi anak didiknya, dari masyarakat daerah yang mendukung meski anggarannya minim.
Jika keadilan anggaran ini terus diabaikan, kita akan terus mengulang siklus yang sama. Prestasi ada, tapi bertahan karena pengorbanan individu, bukan karena sistem yang sehat. Dan suatu hari nanti, pengorbanan itu bisa habis bersama habisnya semangat para pelaku olahraga di daerah yang merasa tak pernah benar-benar dihargai.
Karena pada akhirnya, olahraga bukan hanya soal siapa yang naik podium, tapi juga siapa yang membangun tangga menuju podium itu. Dan tangga itu, sampai hari ini, dibangun di kabupaten/kota bukan di kantor provinsi. (ry)